Friday, November 19, 2021

Pengalaman Menikmati Manga & Anime Blue Period Sebagai Mantan Mahasiswi Seni Rupa

P.S.: Ini bukan review ya, purely apa yang gue rasakan secara pribadi aja.

Anime Blue Period akhirnya tayang di Netflix belum lama ini. Sebelumnya gue udah pernah baca manga-nya karena tertarik sama premisnya tentang perjuangan anak SMA yang ingin masuk kampus seni paling bergengsi di Tokyo. Sebagai mantan mahasiswi Seni Rupa, ofkors gue tertarik dongggg. Apalagi tema seni rupa cukup jarang diangkat di manga (terakhir yang gue tonton kayaknya Honey & Clover deh, itu pun lebih berat di drama antar karakternya). Perjuangan di sini sama di Jepang sana, sama nggak ya? Sejauh apa sih, aspek seninya dibahas?

Tapi setelah beberapa chapter, gue berhenti membaca. Nggak tau kenapa. Gambarnya cukup bagus, cerita oke, karakternya menarik, tapi waktu itu beraaaat aja rasanya buat ngelanjutin.

Fast forward beberapa tahun kemudian, Blue Period diadaptasi jadi anime. Karena anime menurut gue media yang nggak sesusah manga untuk dikonsumsi, akhirnya gue mencoba nonton. Udah caught up sama episode terbarunya (masih ongoing btw), gue juga mencoba untuk baca manga-nya lagi dan berhasil lanjut sampai ke chapter terbaru.

Barulah gue akhirnya paham kenapa dulu susah buat nerusin: Blue Period bikin medan seni dan berkesenian in general stressful as fuck, terlalu angsty :))

Karena killing with kindness sudah biasa.

Buat yang merintis karier di medan seni mungkin iya stressful (ya semua pekerjaan juga gitu, sih), tapi masalahnya adalah.. Karakter-karakter di Blue Period so far tuh 1) Masih SMA, baru persiapan mau masuk FSRD lah istilahnya, dan 2) Kuliah tingkat awal. Kok udah stress duluan???? You guys still have a long way ahead of  you! Berkarya aja gitu sesuka hati. Tapi ya, bukan Seinen manga namanya kalau nggak ada bumbu-bumbu stress dan breakdown gini. Kebanyakan manga juga pasti mendramatisir, sih.

Nggak cuma pas tes masuk kampus seninya atau pas dikomentarin dosen yang diceritain stressful (yang 2 tadi sih sangat dimengerti karena pressure-nya gede), bahkan proses ketika gambar sehari-hari atau buat tugas kuliah yang bukan tugas akhir pun diceritainnya stressful: dari mulai pemilihan tema, pemilihan material, gimana memvisualisasi konsep, berinteraksi sama temen lain, nyelesein karyanya, dan lain-lain.

Oke, mungkin pengalaman dan mindset tiap orang berbeda-beda, tapi yang gue rasain ketika dulu gue kuliah seni rupa di peminatan studio drawing mostly seneng sih karena selain sesuai minat gue, gue juga bebas bikin apa pun dengan media apa pun (selama masih dalam koridor drawing). Isn't art supposed to be fun? Mungkin juga gue bias bisa ngomong gini karena gue eventually nggak kerja di bidang seni. Tapi tetep aja, kecuali untuk beberapa hal, gue agak kurang bisa relate sama Yatora atau karakter-karakter lainnya yang rasanya taking art way too seriously. Beberapa hal jatohnya overthinking sih buat gue.

Ada sih beberapa momen yang bikin gue mikir: "oh iya, bener nih, bagian ini sulit banget emang" Tapi lebih banyak lagi yang bikin mikir: "EMANG SE-STRESSFUL ITU YA?" dan ujung-ujungnya ikut stress sendiri bacanya. Again, mungkin partly agak bias karena gue ngikutin Blue Period setelah lama lulus kuliah dan sekarang berkarier juga bukan di medan seni jadi bisa komentar sesantai itu, tapi kalo mahasiswa seni atau anak-anak SMA yang pengen banget masuk FSRD yang ngikutin Blue Period, mungkin impact-nya akan lebih kenceng ke mental, lebih stress lagi.

Tapi setelah gue pikir lagi, apa emang sengaja ya seni digambarin sebagai sesuatu yang berat? Karena selama ini masih banyak orang (kayak Yatora di awal cerita) yang udah meremehkan seni as it is: "gue juga bisa gambar kayak gitu", "enak kerjaannya gambar doang", "nggak perlu mikir", "kok gini doang mahal?", "emang ada duitnya jadi seniman?" dan lain-lain. Jadi anggaplah Blue Period ini sebagai gateway bagi orang awam yang mau tau lebih banyak tentang seni dan kalau seni itu nggak segampang/seindah keliatannya.

*sweats profusely*

Jadi, intinya Blue Period jelek apa bagus, nih?

Jelek sih nggak dong (kalo iya nggak mungkin masuk nominasi dan menang awards), justru eye-opening banget baik untuk orang awam maupun yang sedang atau pernah berkecimpung di medan seni. Prosesnya seru buat diikutin, dan beberapa pengetahuannya berguna banget. Tapi buat beberapa orang, especially yang masih berada di medan seni, Blue Period bisa sangat triggering. Nggak cuma gue, beberapa temen gue yang dulu kuliah seni rupa juga merasakan hal yang sama. 

Jadi, suka nggak sih sebenernya sama Blue Period?

Setelah percobaan kedua, bisa diakui gue suka. Gue penasaran akan dibawa ke mana manga-nya (apakah sampe Yatora lulus dan jadi seniman?) dan penasaran juga sama kelanjutan cerita beberapa karakternya (Yuka kenapa makin ke sini screentime-nya makin dikit ya di manga? Huhuhu). Art-nya juga walau bukan tipe art yang cantik tapi di beberapa panel dan two-page spread-nya kereeen banget. Cukup relatable juga, baik pas persiapan masuk kuliahnya sama pas kuliahnya sendiri. Tapi faktor utama yang gue nggak suka adalah manga-nya agak terlalu angsty aja buat gue dan terlalu angsty buat hal yang dulu gue anggap sebagai sesuatu yang menyenangkan. Overall tone-nya begitu sih, jadi jangan berharap bakal selalu uplifting atau berharap cerita-cerita heartwarming kayak yang di Honey & Clover ya, jauuuuh, dari genre juga beda banget. Tapi masih cukup menginspirasi kok untuk gue jadi punya penyesalan kecil karena nggak explore lebih banyak saat kuliah dulu, HAHAHA. Sama agak nggak realistis aja sih manga ini, masa nggak ada adegan temen-temen SMA setongkrongan Yatora ngomong: "gambarin gue dong hehe"?????????

Nah gini dong mindset-nya..

Sekian pengalaman gue, terima kasih udah mau baca sejauh ini. Buat yang akan, sedang, atau sudah pernah berkecimpung di medan seni: silakan coba baca/tonton Blue Period!

Oh ya, opening song anime-nya enak banget btw. Nggak pernah skip intro pas nonton di Netflix hehe.

Monday, November 9, 2020

Membaca Kembali (dan Terpesona Kembali oleh) Manga Monster

Gue baru aja tamat baca manga berjudul Monster karya Naoki Urasawa untuk yang kedua kalinya. Dan kesan gue masih sama: this manga is a fucking masterpiece.

Sebenernya manga legendaris ini udah ada dari lama banget, di Jepang sana udah dari tahun 1994 sampai 2001. Tapi Monster baru diterbitin di Indonesia tahun 2003 oleh m&c comics dan tamat dalam 18 jilid. Setelah dipikir-pikir agak unik juga ya karena biasanya manga dengan tema dan genre seberat ini (crime, mystery, thriller, mature) diterbitin sama Level Comics — yang memang waktu itu bahkan belum ada, sih. Gue sendiri termasuk beruntung pernah baca ini karena kebetulan bacanya telat banget (kayaknya sekitar tahun 2014), itu pun hasil pinjam di rental komik. Sekarang manga-nya udah nggak diterbitin lagi di toko buku mana pun, rental komik tempat gue dulu pinjem pun udah nggak ada. Jadi untuk yang ingin berburu rilisan fisiknya, bisa coba di toko-toko buku bekas atau online marketplace.

Oke, balik lagi ke manga-nya. Secara garis besar, Monster bercerita tentang perjalanan panjang Kenzo Tenma, seorang dokter bedah asal Jepang yang sangat ahli, dalam mencari sosok 'monster' yang telah menghancurkan dan mempermainkan hidup banyak orang termasuk hidupnya — yaitu seorang pemuda karismatik bernama Johan yang pernah ia selamatkan nyawanya saat kecil. Tujuan Tenma satu: ia ingin mengakhiri hidup Johan dan menghentikan semua peristiwa buruk yang terjadi karena ulahnya. Seiring pencariannya, kita akan diperkenalkan oleh banyak karakter dan kasus pembunuhan yang ternyata semuanya bermuara ke satu orang, yaitu Johan tadi.

Chapter demi chapter, kita akan disuguhi berbagai konflik dan intrik yang menurut gue semuanya nggak ada yang nggak penting; entah itu yang bertujuan untuk menunjukkan character development, menceritakan motivasi karakternya, menjadi trigger ke cerita-cerita baru, atau mengungkap misteri di balik sosok Johan ini. Nggak ada yang namanya chapter filler. Beneran deh, membaca Monster rasanya seperti main puzzle. To see the big picture you need to carefully read each chapter; karena setiap chapter adalah kepingan puzzle-nya. Bacanya santai aja, ingat-ingat karakter dan kejadiannya karena kadang ada juga satu detail yang pernah disebutkan di chapter lama dan muncul lagi di chapter yang baru dibaca, dan bikin kita mikir, "ooooh, ternyata".

Salah satu chapter yang kayaknya perlu di-revisit mendekati ending manga-nya. Hehe

Karakter di manga ini memang banyak, tapi tenang, semua sudah dibikin se-memorable mungkin, at least menurut gue. Kerasa kok kalau karakternya dibuat bukan sekadar biar ada aja tapi sepenuh hati sampai pembaca pun bisa bersimpati sama ceritanya, walau cuma karakter minor. Kalo pun ternyata lupa, itulah aspek yang menurut gue bikin Monster ini worth it untuk dibaca ulang. Mungkin terdengar lebay ya, tapi menurut gue pribadi Monster adalah contoh manga — atau bahkan karya fiksi — yang punya character development dan tokoh antagonis terbaik. Yup, sampai detik ini gue masih liat Johan bertengger di list banyak orang sebagai salah satu anime/manga villain terbaik. Karakternya yang kompleks, enigmatik, nihilis, dan manipulatif memang bisa bikin orang ngeri sekaligus kagum. Setelah manga-nya tamat pun, pembaca mungkin masih akan memperdebatkan tentang motivasi Johan dan definisi siapa sebenarnya 'monster' dalam manga ini. Begitu juga dengan Tenma. Sebagai protagonis utama di sini, Tenma juga ditulis dengan baik dan likeable banget. Karakternya yang punya empati tinggi, menghargai setiap nyawa manusia, dan altruistik adalah kebalikan dari Johan. Seiring cerita, kita juga bakal ngeliat sendiri gimana Tenma udah mengubah nasib dan pemikiran banyak orang dengan prinsip dan moralnya. Pokoknya, baca sendiri aja ya. Nggak mau spoiler, nanti juga ngerti hehehe.

Johan, not your average bishounen character.

Apakah Monster juga dijejali banyak teori yang bikin mumet kayak di, let's say, Death Note? Jawabannya nggak. Yang awalnya agak bikin mumet ya paling itu tadi, harus inget-inget karakternya aja. Ceritanya sendiri sangat mengalir dan kalian nggak perlu terlalu pusing-pusing buat mikirin misterinya, karena kalian akan dibawa sendiri oleh ceritanya. Manga lain mungkin ada yang mengalami penurunan kualitas setelah arc tertentu, terlalu dragging, ada plot yang dirasa terlalu mengada-ada, kebanyakan plot armor atau deus ex machina, tapi nggak dengan Monster. Hingga akhir manga-nya pun, gue merasa semuanya dieksekusi dengan pas dan cukup make sense. Nggak realistis tentunya karena namanya juga fiksi, tapi tetap make sense dengan temanya. Ending-nya cukup memuaskan tapi juga cukup ambigu untuk didiskusikan. Naoki Urasawa memang jago dalam meracik cerita, nggak hanya di manga ini tapi juga di manga-nya yang lain. Hats off to him!

Untuk pencinta thriller dan misteri kayak gue, kalian akan sangat dimanja oleh manga yang page-turning ini. Bosen? Nggak akan. Kasarnya, Monster punya kombinasi yang seimbang antara action dan ngomong, misteri dan drama. Buat kalian pencinta sejarah juga mungkin akan suka sama manga ini karena memang Monster menyenggol tema sejarah yang beneran terjadi. Mengambil latar di Eropa terutama Jerman, Monster banyak menyinggung tentang Perang Dingin, keruntuhan Tembok Berlin, neo-nazi, polisi rahasia, komunisme, dan lain-lain. Lalu apakah manga ini gore? Jawabannya nggak, kecuali kalo ada darah doang udah kalian anggap "gore". Berhubung manga ini akan banyak action dan pembunuhan jadi ya siap-siap aja liat banyak darah, but nothing too graphic or violent kok. Monster juga banyak mengandung unsur dewasa dan sensitif seperti seks dan kekerasan terhadap anak, so read at your own discretion.

Kesimpulannya adalah: TOLONG BACA MONSTER!

Tapi kalo udah lama berkecimpung di dunia anime/manga, kayaknya kalian udah baca sih. Minimal baca karya Urasawa yang lain. Tapi untuk para fans-fans baru, inget: nggak ada kata telat untuk menikmati sebuah masterpiece, jadi silakan mulai baca Monster sekarang. Buat yang nggak suka anime/manga pun, kalo kalian cari series atau bacaan yang suspenseful, seru, dan mindblowing, gue sangat merekomendasikan Monster. Yang jelas, manga ini adalah salah satu all-time favorite manga gue bareng Ajin dan Fullmetal Alchemist yang juga pernah gue review.

Tuesday, August 18, 2020

Penting Nggak Penting: Peran Gender di Rumah Tangga

Ooh, moving to a more intricate topic, aren't we? Disclaimer: I'm most likely not qualified yet to talk about this topic, so you should not take this post at face value. It's just what *I* thought.

Menghabiskan banyak waktu di Twitter berarti harus menyaksikan berbagai macam topik diributkan, salah satunya topik peran gender yang nggak ada habisnya ini. Rasanya hampir setiap tahun ada topik keributan langganan: "apakah istri yang harusnya masak/menyiapkan makanan dalam rumah tangga?" dan nggak terkecuali tahun ini.

Beberapa waktu lalu, ada seorang istri yang upload foto-foto bekal makanan bikinannya yang ia kumpulkan dalam satu thread dan diberi tajuk "bekal buat suami". Rings a bell? Pasti lah ya, wong orang se-Twitter dari berbagai circle dan kelas mendadak jadi pada ngurusin ini. Nggak cuma foto, sang istri juga menyelipkan resep untuk masing-masing menu bekal tersebut. Dalam hitungan jam, thread-nya pun viral. Tapi sayang, thread yang awalnya viral secara positif ini (rightfully so, karena informatif dan fotonya menarik), lama-lama mengundang cibiran dan berujung jadi perdebatan panjang. Lots of people use this topic to spin the narrative about how toxic men are, and lots of people in return use this topic as a chance to shit on feminist movement in general. Lho, kok bisa?

It all boiled down to the title of thread itself: "bekal buat suami".

Bukan yang ini.

Ada beberapa pihak yang, entah apa maksud dan tujuannya, menjadikan ini sebagai momen buat menjatuhkan pria DAN istri yang udah bikin bekal tersebut. They "don't think that anybody should be this nice to a man" bahkan ada yang bilang itu "thread ter-tolol" yang pernah mereka lihat. I quoted that verbatim, you can easily find a screenshot of them somewhere on Twitter. Intinya mereka nggak setuju kalo suami atau pria diperlakukan sebaik itu, bahkan ada yang bilang usaha kayak gitu nggak worth it karena ujung-ujungnya "[men] can cheat and manipulate us". Bahkan bahasan isu ini jadi merembet ke mana-mana, sampe ke unpaid labor segala. Um, what?

Keributan di atas, kalo ditarik garis besar salah satu intinya seperti yang gue bilang: peran gender di rumah tangga. Banyak orang beranggapan saklek bahwa masak adalah tugasnya istri. Banyak orang juga beranggapan bahwa masak (atau tugas rumah tangga lainnya) harusnya nggak dibebankan pada salah satu gender aja. Nah, tipe kedua ini sepertinya yang pertama ke-trigger dengan thread di atas. Note that punya anggapan seperti tipe kedua is TOTALLY OKAY. Sayangnya, sepertinya mereka read too much into it, terlanjur 'panas', dan kemarahan mereka terasa nggak pada tempatnya. I believe that the initial thread was shared purely out of good, harmless intention, no judgmental or preachy undertones whatsoever, so quoting it with rude comments is just.. Low. But I guess that's how internet works.

Tapi bukan keributannya exactly yang mau gue bahas. Gue akan balikin lagi inti topiknya:
Do you think cooking (and other house chores) is solely a certain gender's responsibility?

As for me personally, I believe it's not. Yang namanya hidup berumah tangga, pasti akan dimulai dengan berdua. So apa pun yang terjadi di dalam rumah tangga lo, itu adalah tanggung jawab kalian berdua juga, termasuk pekerjaan rumah. Ya iyalah, rumah udah ditempatin berdua, masa yang kerja satu orang doang? Untuk masalah siapa yang masak, siapa yang ngepel, siapa yang nyuci, siapa yang beres-beres, dan lain sebagainya itu sebenernya kesepakatan bersama aja.. Selama kedua pihak nggak ada yang merasa terpaksa atau tertekan. Karena bisa aja ternyata istri nggak bisa masak, tapi mau cuci mencuci. Suami justru yang bisa dan mau masak. In that case, kan lebih enak toh kalo suami yang masak dan istri yang cuci piring? Kurang lebih begitu. Jadi bagi tugas sesuai kemampuan dan kesibukan masing-masing aja.

Jujur aja suka sedih kalo ada pasutri yang dua-duanya kerja, tapi somehow yang ngurus pekerjaan rumah tetep harus cuma sang istri. Well? Di sini rule 'suami yang cari nafkah, istri yang ngurus rumah' nggak berlaku dong karena istrinya kan juga kerja. Biar semua fair dan nggak merasa terbebani, idealnya sih pasutri harus bisa ganti-gantian ngerjain pekerjaan rumah. Jadi ketika yang 1 berhalangan atau lagi dalam kondisi yang kurang memungkinkan (capek karena lembur, hamil, sakit, dll), yang lainnya bisa nge-cover. Yep, it's pretty much like kerja kelompok sebenernya, sadar diri aja. Mungkin nggak perlu detil sampe itung-itungan banget. Kalo kalian berdua sama-sama lelah, kan bisa outsource; entah itu hire ART atau pesen delivery makanan. Jangan sampe deh berantem gara-gara hal se-basic siapa yang ngerjain pekerjaan rumah hehe.

Yang bikin gue lebih sedih lagi, seringkali pembebanan pada istri ini juga berlaku dalam aspek mengurus anak. Let's think about this: how a child is conceived? Istri tiba-tiba hamil? Nggak kan. You both took part in it and were fully aware of the responsibilities that entail in raising a child. Itu anak lo BERDUA for fuck's sake, jadi membebankan pengasuhan ke salah satu pihak aja selain nggak fair buat kalian berdua, nggak baik juga buat anak. Absence of parents or lack of participation from one of them is never good, silakan tanya pada semua psikiater anak/pakar parenting dan mereka pasti setuju. Memang nggak semua orang, cewek atau cowok, bisa jadi orang tua yang baik, sih. But you can at least start small, sesimpel gantiin popok, nyuapin, atau bahkan mijetin dan orderin makanan buat istri yang kecapekan setelah harus nyusuin dan gendong anak seharian. Kalo sebagai suami dirasa terlalu sibuk untuk bisa bantu juga, jalan lainnya adalah outsource lagi, bantu dengan hire babysitter atau ART.

Oke, banyak yang selalu menekankan bahwa pekerjaan rumah dan mengurus anak adalah tugas wanita dengan dalih 'kodrat'. But here's the thing. Pekerjaan rumah dan mengurus anak adalah kegiatan yang harusnya nggak kenal gender, bisa dilakukan sama siapa aja yang punya badan sehat. Contoh gampangnya masak deh. Apa gender tukang nasi goreng gerobak yang suka lewat di depan rumah lo? Pas lo makan di restoran berkonsep open kitchen, coba intip, apa gender juru masaknya? Apa gender chef-chef terkenal kayak Gordon Ramsay, Jamie Oliver, atau chef Arnold? Yak, jawabannya sama semua kok: cowok. So nggak ada excuse untuk cowok buat bilang kalo "masak itu tugasnya cewek" when the majority of cooks out there are goddamn men. Masak itu survival kok, tiap orang kan butuh makan. Ini juga berlaku buat tugas rumah lainnya. Unless your balls somehow disable you from washing the dishes and scrubbing the floor, which I doubt so. Chill, doing house chores doesn't make you less of a man kok.

Ada juga stereotip kalo cowok tuh lebih cocok buat kerjaan yang sifatnya nukang dan berat. Contohnya benerin genteng, elektronik, masang lampu, ngerangkai furniture, ngangkat galon, dan lain sebagainya. Tapi emang semua cowok jago ngelakuin hal ini? Sama kayak ditanya apa semua cewek jago masak dan beberes rumah, jawabannya nggak. Namanya juga manusia, wajar kok punya strength dan weakness di bidang tertentu. Ada cowok yang telaten dan rapi urusan domestik tapi clueless soal pertukangan, ada juga cewek yang kuat buat ngangkat-ngangkat dan ngerangkai furniture tapi nggak jago masak. Kalo ternyata sama-sama mau belajar, ya, good for you.

Baik cari nafkah maupun ngerjain pekerjaan rumah, gue rasa baik suami maupun istri nggak ada salahnya buat belajar melakukan kedua hal ini. Karena—amit-amit semoga nggak kejadian—kalau misalnya salah satu dari kalian kenapa-kenapa, mau nggak mau kalian harus bisa ngelakuin keduanya. Suami yang terbiasa kerja terus tanpa ngurus anak atau rumah, gimana kalo tiba-tiba ditinggal mati istrinya? Nikah lagi? Iya kalo langsung dapet dan istri barunya mau. Hire ART? Iya kalo ada duitnya. Ini juga berlaku buat istri yang terbiasa di rumah terus dan 100% bergantung sama penghasilan suami. Kalo suami nggak ada, pendapatan dari mana? Sedangkan anak harus dikasih makan dan disekolahin. Nikah lagi? Iya kalo langsung dapet dan nafkah suami barunya cukup kayak suami lamanya. Balik ke rumah ortu? Iya kalo ortunya masih ada dan masih mampu bantuin. Get what I mean? Tapi ini contoh worst case aja, ya. Ultimately kita harus belajar ngurus rumah tangga with good intention: karena ini emang tanggung jawab bersama dan buat meringankan beban pasangan juga. :)

"Tapi gue pengen punya istri yang jago masak!"
"Istri gue harus bisa ngurus rumah"

Hey it's okay too, you do you. Itu preferensi lo and I won't object to that. Kecuali lo maksain hal tersebut ke pasangan lo yang punya view berbeda atau lo ngomong..

"Gue pengen punya istri yang jago masak. Cewek yang nggak jago masak mah belom cocok jadi istri"

Welp. That's a no-no. Hal ini yang sering jadi pemicu keributan tentang peran gender di rumah tangga seperti yang gue bilang di awal. "Punya preferensi atau standar tertentu" dan "memaksakan standar lo ke semua orang bahkan nge-judge keras orang yang nggak bisa memenuhi standar lo" adalah dua hal yang berbeda. Lo pengen punya istri cantik, seksi, jago masak, jago di ranjang, jago ngurus rumah, jago ngurus anak, silakan aja. Tapi bilang kalo semua cewek/calon istri harus kayak gitu, dan yang nggak bisa berarti nggak layak jadi istri? Uhhhh nggak sensitif dan realistis sih. Gue udah menyaksikan hal ini dengan jelas lagi-lagi di Twitter, platform tubir kesayangan kita semua. Lucunya lagi, baik cewek maupun cowok pernah punya blunder semacam ini. Ada cowok yang ngecap istri yang nggak bisa masak berarti nggak layak jadi ibu, dan ada cewek yang ngecap suami yang nggak berpenghasilan 30 juta sebagai cowok pemales. Kedua anggapan tersebut nggak dibenarkan tentunya.

Istri kerja, suami di rumah Kayak Tetangga Masa Gitu? Ya boleh juga~

Wow, panjang juga ya. Intinya begitulah, tiap rumah tangga berbeda. Kalo masih mau menjalani peran gender secara konvensional dimana istri masak dan ngurus rumah sementara suami kerja, ya silakan. Asal dengan kesepakatan bersama dan nggak ada yang merasa terpaksa/tertekan/lebih terbebani. Pastiin hasilnya fair untuk pasangan lo. It's a partnership of a lifetime, jadi ada baiknya urusan pembagian tugas ini diomongin di awal, bahkan sebelum nikah. Pastiin kalo view pasangan emang align sama view kita, jadi nantinya akan lebih enak lanjut ke tahap serius.

Sekian dan thank you for coming to my TED Talks~